Langsung ke konten utama

Bedhaya Sri Kawuryan dalam "World Dance Day 7" di Solo (Review)




Foto 1.Penari Bedhaya Sri Kawuryan dalam sikap awal.(www.flickr.com:2013)

Tari Bedhaya Sri Kawuryan diciptakan oleh Paku Alam IX yang melambangkan seseorang yang mengarungi dinamika kehidupan dan selalu berharap akan menemukan keselarasan. Tari ini dipentaskan pada Hari Tari Sedunia (World Dance Day) di Solo Menari 24 Jam, tanggal 29 April 2013 (malam). Bedhaya Sri Kawuryan menggambarkan tentang manisnya kehidupan dan kebersamaan, kesejahteraan, ketenteraman, dan kedamaian merupakan anugerah yang selalu dimohonkan manusia kepada Tuhan Yang Maha Esa. Gerak tari yang menyatu dengan irama gending bermaksud mengungkap keragaman fenomena dinamika yang berlangsung dalam kehidupan. Dalam tari ini Sri Paduka Paku Alam IX mencoba menggambarkan dinamika kehidupan dalam dua karakter penari (batak dan endhel) yang merupakan simbol dari keberadaan beliau dengan sang istri dalam istana.

Bedhaya Sri Kawuryan ditarikan oleh tujuh penari puteri dengan tinggi badan dan postur tubuh yang hampir sama. Masing-masing penari memiliki peran tersendiri layaknya bedhaya pada umumnya, yakni endhel, batak, jangga, dada, apit ngajeng, apit wingking, dan buntil. Terkadang peran endhel dan batak dipilih penari dengan postur dan tinggi badan yang paling tinggi dari ke tujuh penari lainnya.

Nama bedhaya ini mengikuti nama bagian iringan tarinya yang disebut lagon "Sri Kawuryan". Lagon digunakan pada saat para penari berjalan menuju arena pertunjukan. Iringan berfungsi sebagai pengiring dalam setiap perubahan motif dan pergantian bagian. Dari awal hingga akhir memang terdengar iringan gending yang lembut dan statis, namun sebenarnya terdengar sangat dinamis. Hal ini terdengar ketika gending masuk pada bagian sembahan selalu terdengar lebih tegas dan sedikit kuat (meskipun tetap lembut) daripada ketika masuk bagian rakit gelar yang cenderung lebih lembut.

Tari ini dipentaskan di pendapa ISI Surakarta dengan empat soko guru berada di tengah pendapa. Pencahayaan menggunakan general light dan diiringi gamelan live. Pemusik berada di belakang area penari (bagian tengah belakang di dalam pendapa). Sedangkan penonton berada pada sisi kanan dan kiri serta bagian depan area pertunjukan.

Kostum yang digunakan ke tujuh penari sama, yakni menggunakan kemben dan kain jarik dengan bentuk seredan. Kedua kostum ini merupakan perpaduan dari gaya Surakarta dan Yogyakarta. Selain itu juga menggunakan selempangepek timang, sampur gendholo giri, tusuk melati, dan bentuk sanggul yang khas gaya Pakualaman. Properti yang digunakan adalah kipas berwarna kuning yang hanya digunakan ketika penari akan keluar dari area pertunjukan.

Analisis Gerak
Tari ini diawali dengan lagon yang merupakan prosesi penari memasuki arena pertunjukan dengan gerak kapang-kapang. Setelah itu dilanjutkan dengan sembahan sila (gaya Surakarta), lalu masuk bagian motif-motif gerak dengan perubahan pola lantai bedhaya, diakhiri dengan sembahan sila kemudian prosesi keluar menggunakan properti kipas. Gerak-gerak yang ditampilkan dalam pementasan bedhaya Sri Kawuryan merupakan gerak tari klasik gaya Pakualaman, yang di dalamnya mengandung perpaduan unsur gaya Yogyakarta dan Surakarta. Posisi sikap tubuh ndegeg dan tidak mayuk. Gerakan kaki debeg gejug menjadi dominan dalam tari ini. Motif yang khas mengalami pengulangan adalah motif ngglangsur, namun pengulangan tersebut diikuti dengan variasi hitungan dan arah hadap. Pengulangan dilakukan dengan menggunakan perubahan arah hadap yakni berbalik ke empat arah dan dilakukan dengan hitungan dengan tempo yang lambat, berbeda dengan motif awal. Gerak kepala yang khas dalam tari ini adalah gerak njeglik yakni gerak kepala menoleh ke kanan atau kiri sampai dapat melihat bahu (ke samping maksimal). Gerak ini merupakan khas gaya Pakualaman dan digunakan berulang kali dalam tari ini.

Analisis Ruang dan Waktu
Pada pertunjukan kali ini menggunakan ruang pentas yang berupa pendapa dengan empat saka guru ditengahnya. Pendapa ISI Surakarta tergolong pendapa yang luas, sehingga ke tujuh penari dapat menari dengan leluasa dan pola lantai dapat dilakukan secara sempurna. Seperti pola lantai ajeng-ajengan yang membutuhkan ruang yang lebar pada pertunjukan kali ini dapat terlihat dengan jelas dan rapi.
Pola lantai dalam bedhaya ini bervariasi, seperti lajur, ajeng-ajengan, gelar, dan lainnya. Pengulangan pola lantai juga dilakukan, namun setiap perubahan dilakukan dengan teratur dan hampir tidak diketahui kapan proses berubahnya (tiba-tiba berubah).

Ketika akan berganti pola lantai dari pola satu ke pola yang lainnya penari menggunakan gerak penghubung atau sendi. Salah satu gerak penghubung yang digunakan adalah srisig. Gerakan srisig ini selalu diakhiri dengan seblak sampur ke kiri dan posisi kaki jinjit (njundil). Selain itu ketika akan berpindah ke posisi ajeng-ajenganapit ngajeng dan apit wingking nyolongi sedikit demi sedikit.

Pertunjukan ini berdurasi kurang lebih tiga puluh lima menit seiring gending yang mengalun. Penonton tidak dibuat jenuh ketika melihat pertunjukan ini sebab keluwesan penari dapat membius penonton dan iringan musik live juga mempengaruhi keindahan tari bedhaya Sri Kawuryan ini.

Aspek Tari Kelompok
v Jumlah Penari
Bedhaya Sri Kawuryan merupakan bentuk koreografi tari kelompok, yang terdiri dari tujuh penari (puteri). Para penari memiliki peran masing-masing, yakni sebagai endhel, batak, jangga, dada, apit ngajeng, apit wingking, dan buntil. Tinggi badan dan postur tubuh para penari hampir sama, terkecuali untuk endhel dan batak dipilih yang paling tinggi dari ke tujuh penari tersebut. Ketujuh penari tersebut mampu membentuk pusat-pusat perhatian yang menarik, yaitu:
  • Focus on one point : dapat dilihat pada awal tari dengan pola lantai seperti tiga-tiga (bedhaya gaya Yogyakarta). Dalam pola lantai ini para penari terlihat dalam satu titik perhatian.
  • Focus on two point : dapat dilihat pada pola lantai ajeng-ajengan. Pada pola ajeng-ajengan penari terbagi dalam dua bagian, yakni empat penari dan tiga penari.
  • Focus on three point : dapat dilihat pada pola lantai gelar, yakni lima penari menari dengan level bawah, dan kedua penari masing-masing menari dengan bentuk berpindah-pindah namun tidak berpasangan.
v Jarak Penari
Pendapa ISI Surakarta sebagai ruang pentasnya dapat dikatakan luas, sehingga jarak antara penari dapat menyesuaikan dan tidak terlihat berdekatan. Setiap pola lantai yang berubah tidak menyulitkan gerak dari penari, sehingga ruang pendapa tersebut dapat dikatakan cukup ideal bagi tari bedhaya ini.

Kesimpulan
Tari bedhaya Sri Kawuryan merupakan karya Paku Alam IX, dapat dimaknai sebagai raja yang terlihat atau bertahta yang diwujudkan dalam lembut dan gemulai gerak tari bedhaya. Bedhaya ini dibawakan oleh tujuh penari putri seiring gendhing yang mengalun. Gerak tari yang menyatu dengan irama gendhing bermaksud mengungkap keragaman fenomena dinamika yang berlangsung dalam kehidupan sebagai anugerah dari Yang Maha Kuasa.

Secara keseluruhan pementasan menarik sebab diiringi dengan iringan musik livenamun dari aspek koreografi kelompok belum terlihat keseragaman gerak. Para penari belum terlihat dalam satu rasa layaknya bedhaya pada umumnya. Mereka masih terlihat menari individu, misalnya seperti pola lantai tiga-tiga yang seharusnya terlihat dalam satu rasa namun dalam sajian tari ini masih terdiri dari beberapa rasa (individual). Motif gerak yang muncul sebagian besar adalah gerak rampak dengan tempo ajeg dan mengalun. Pusat perhatian yang ditampilkan sebagian besar focus on one point dengan pola lantai yang bervariasi. Tusuk melati yang menjadi perhiasan kepala sangat menguntungkan dalam pencahayaan, sebab kostum yang digunakan terkesan gelap. Penggunaan properti kipas sangat disayangkan sebab hanya digunakan pada prosesi akhir ketika penari akan keluar dari arena pertunjukan. Properti tersebut alangkah baiknya digunakan pada beberapa bagian sebelumnya juga, kalaupun tidak lebih baik properti kipas tersebut ditiadakan.


 Foto 2.Penari Bedhaya Sri Kawuryan dalam posisi rakit lajur.(semuthitampemenang.blogspot.com:2013)

     Foto 3.Penari Bedhaya dalam posisi rakit gelar.(semuthitampemenang.blogspot.com:2013)

        Foto 4.Penari Bedhaya Sri Kawuryan dalam posisi rakit lajur.(semuthitampemenang.blogspot.com:2013)


Semoga bermanfaat, terimakasih. Salam Budaya!



Komentar

  1. mksh y mbk, foto jepretan sy dire-post dsni.. :) kl bs ditambahi sumber referensi tlsnny dr mana saja. Nuwunm :)

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Konsep Estetis Kesenian Jaranan Senterewe Turangga Wijaya di Dusun Sorogenen, Kecamatan Kalasan, Kabupaten Sleman, Yogyakarta

A. Deskripsi Jaranan Senterewe Turangga Wijaya merupakan kesenian rakyat yang sampai saat ini masih eksis di wilayah Sleman, khususnya di kecamatan Kalasan. Kesenian ini mempunyai latar belakang sejarah yang menarik sehingga keberadaannya di wilayah itu tidak diragukan lagi. Kesenian jaranan ini menggambarkan sekelompok pahlawan berkuda yang gagah dan gesit dalam medan pertempuran. Mereka menunjukkan kepiawaian berkuda dengan berbagai motif gerakan tari. Properti yang digunakan masing-masing pemain adalah kuda-kudaan (jaranan) yang terbuat dari anyaman bambu dan juga pecut .  Setiap pertunjukan disajikan dengan menampilkan sedikitnya empat kelompok jaranan yang masing-masing terdiri dari enam penari. Jaranan ini ditarikan oleh para penari putera, meskipun beberapa tahun lalu juga sempat ada kelompok penari puteri. Selain penari ada juga peran dalam pertunjukan ini yang disebut bujang ganong, barongan, dan kucingan . Bujang ganong   mempunyai peran khusus yang tersirat, yakn

Program Pembinaan Dan Pengembangan Wilayah Seni (P3 Wilsen) di Nglipar, Gunung Kidul

Desa Katongan merupakan sebuah desa yang mempunyai potensi luar biasa dalam hal kesenian tradisi. Desa ini terdiri dari beberapa dusun, salah satunya adalah Dusun Nglebak. Dalam kegiatan Program Pembinaan dan Pengembangan Wilayah Seni (P3 Wilsen) yang diselenggarakan oleh ISI Yogyakarta, saya bersama ke enam mahasiswa ISI lainnya ditugaskan di dusun tersebut. Tugas kami adalah membina kesenian yang ada di Dusun Nglebak agar lebih menarik dan lebih diminati oleh masyarakat luas. Seperti yang dicita-citakan oleh Bapak Kepala Dukuh Nglebak untuk menjadikan Desa Katongan sebagai Desa Wisata.

Memilih Yoga Atau Senam Hamil??

Masa kehamilan adalah masa yang paling membanggakan bagi para ibu, terutama bagi ibu muda seperti saya. Kehamilan pertama ini membuat saya selalu ingin tahu dan belajar mengenai berbagai hal seputar kehamilan dan persalinan. Mulai dari googling, bertanya pada teman maupun kerabat, membaca buku, sampai banyak bertanya ketika konsultasi dengan dokter kandungan. Hal ini saya lakukan semata hanya untuk kebutuhan sendiri, karena saya merasa perlu mempelajari dunia baru yang memang belum pernah saya jalani sebelumnya.

Lagu Dolanan Anak: Tak Kenal Maka Tak Cinta

Waktu kecil, kita terutama saya pasti familiar dengan lagu-lagu singkat yang umumnya berisi tentang tema permainan atau sebuah kelakar. Oleh karena saya orang Jawa, maka lagu-lagu yang saya kenal waktu itu sebagian besar lagu berbahasa Jawa. Di Yogyakarta, umumnya lagu-lagu ini disebut dengan Lagu Dolanan Anak. Tidak hanya satu atau dua karena banyak sekali Lagu Dolanan Anak yang ada di Yogyakarta dan sekitarnya, misalnya Jamuran , Gundhul-gundhul Pacul , Padhang Rembulan , Sluku-sluku Bathok , Menthok , dan masih banyak lagi. Lagu-lagu tersebut pada dasarnya tidak diajarkan secara formal, seperti di sekolah tetapi biasanya dikenalkan dari mulut ke mulut baik dari lingkungan teman-teman sekitar, ataupun oleh orang tua di rumah. Akan tetapi patut disayangkan, sebab saat ini hanya segelintir anak yang mengenali lagu-lagu tersebut. Siapakah yang berperan penting memperkenalkan lagu-lagu ini kepada anak-anak penerus budaya bangsa??